Rabu, 13 Februari 2013

RENUNGAN UNTUK ISTRIKU


Sepuluh Tahun Aku Membenci Suamiku Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita
belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan
dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah
benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku
membenci suamiku sendiri.Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah
menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya
sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya
pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya
kemampuan finansial dan dukungan siapapun.Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku
karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya
mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku.
Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku
sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya
sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada
sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah
yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk
susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai
komputerku meskipun hanya untu menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau
ia menggantung bajunya di kapstock bajuku,aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi
tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali
ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau
mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan
meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari
empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku
mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku
memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama
kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa
berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi- pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir.
Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang
menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan
kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa
mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya,
saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak
dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari
itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama
anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan
berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun
merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.
Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan
aku menelepon suamiku dan bertanya. “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang
jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya
kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya
menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, aku mengomelinya dengan
kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian,
handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan
setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil
dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat,
kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu
jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.aku berbicara dengan kasir dan mengatakan
bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku
sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau
aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan
berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar
sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah
berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah
diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi
keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat
sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari
bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke
rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih.
Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap
bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh
keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku
di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah
yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam,
tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan
menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri,
serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah
sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada
airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku.
Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak
mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk
di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar
menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas.Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan
seksama.Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh
tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah
kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.
Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha
mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin
mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir
begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.
Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku
berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu
mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus
kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas
makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak
tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku
adalah penggemar mie instant dan kopi kental.Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu
ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau
belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang
larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau
menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh
dari tempat tinggal teman-temanku.Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri
lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang
menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku
terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan
sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini
kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal
kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu
mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku
makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi,
aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok
menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya
setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan
menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok
pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan
sering terbangun karena rindu mendengarnya
kembali. Dulu aku kesal karena ia sering
berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku
merasa kamar tidur kami terasa kosong dan
hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku
tanpa me-log out, sekarang aku memandangi
komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap
bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi
tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya
yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun
tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan mudah
kutemukan meski aku berharap bisa mengganti
kehilangannya dengan kehilangan remote.
Semua kebodohan itu kulakukan karena aku
baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku
sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah
karena semua kelihatan normal meskipun ia
sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku rindu.
Aku marah karena tak bisa menghentikan
semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada
lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi
yang mengingatkanku sholat meskipun kini
kulakukan dengan ikhlas.
Aku sholat karena aku ingin meminta maaf,
meminta maaf pada Allah karena menyia-
nyiakan suami yang dianugerahi padaku,
meminta ampun karena telah menjadi istri yang
tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku
sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian
dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-
temanku yang selama ini kubela-belain, hampir
tak pernah menunjukkan batang hidung mereka
setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya,
keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari
keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku
dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung
merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak
pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku.
Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak
pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah
rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk
kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap
bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari
kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji
terakhir beserta kompensasi bonusnya.
Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka,
ternyata seluruh gajinya ditransfer ke
rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan
rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh
uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga karena aku tak pernah bertanya
sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku
harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa
hidup karena jumlah gaji terakhir dan
kompensasi bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana?
Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama
sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu
kemudian. Ayahku datang bersama seorang
notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen.
Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat
pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh
kekayaannya padaku dan anak-anak, ia
menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi
yang membuatku tak mampu berkata apapun
adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih
dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu
bertanggung jawab mengurus segalanya
sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu
cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku
waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu
dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah
kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi
sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian
kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama
ini aku telah menabung sedikit demi sedikit
untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin
sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak
yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang
bisa memanfaatkannya untuk membesarkan
dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik
untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja.
Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu
yang terbuang percuma selama ini. Aku
memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan
mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan
selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu
dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang
lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan
karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah
istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria
pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi
anak yang bandel lagi dan selalu ingat
dimanapun kalian berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar
kartun dengan kacamata yang diberi lidah
menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan
note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini
suamiku memiliki beberapa asuransi dan
tabungan deposito dari hasil warisan ayah
kandungnya. Suamiku membuat beberapa
usaha dari hasil deposito tabungan tersebut
dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun
dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya.
Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui
betapa besar cintanya pada kami, sehingga
ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri
kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu
menghapus sosoknya yang masih begitu hidup
di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika
orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun
meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku
saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga
tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang
pemuda dari tanah seberang. Putri kami
bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti
setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa
masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta
sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan
hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau
akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau
akan belajar menyenangkan hatinya, akan
belajar menerima kekurangannya, akan belajar
bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk
ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap
setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah
suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu,
seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia
pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar
pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat
menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku
menghabiskan sepuluh tahun untuk
membencinya, tetapi menghabiskan hampir
sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya.
Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku
tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu
tulus.