Rabu, 26 Oktober 2016

BUTA HURUF DAN AKSARA ARAB DI KOIN INDONESIA

Coba perhatikan apa yang menarik dari koin Indonesia 25 sen tahun 1952 yang saya temukan di Damaskus ini?
Bagi saya, koin ini menyibak banyak hal dari masa lalu. Selain karena ukuran dan materialnya sangat mirip dengan koin Rp500 "bunga melati" tahun 2003, yang paling menarik dari koin ini adalah penggunaan aksara Arab pada koin Indonesia. Ternyata Indonesia pernah mencetak koin dengan tulisan Arab, yakni 1 sen (1952),  5 sen (1951—1954), 10 sen (1951—1954), dan 25 sen (1952). Setelah itu aksara Arab dalam mata uang Indonesia lenyap dan digantikan seluruhnya dengan huruf latin.
"Mengapa Indonesia menggunakan aksara Arab?" si penjual koin malah bertanya ke saya.
"Hmmm... mungkin karena sebagian besar rakyat Indonesia saat itu lebih familiar dengan tulisan Arab," jawab saya sekenanya, tapi malah jawaban itu balik menyerang saya dengan lebih banyak pertanyaan dalam kepala.
Sejak lama kita selalu dijejali data bahwa pada masa awal kemerdekaan, tingkat buta huruf di Indonesia mencapai lebih dari 90%! Bayangkan suatu bangsa yang menuntut kemerdekaan padahal hanya kurang dari 10% penduduknya yang bisa baca tulis. Bagaimana bangsa merdeka itu kelak bisa menjalankan  pemerintahannya dan mengurus negaranya jika baca tulis saja tidak becus? Tidak heran salah satu perdebatan sengit di BPUPKI adalah bangsa ini belum siap untuk merdeka karena masih bodoh dan belum bisa baca tulis.
Namun tunggu dulu… sebetulnya bangsa Indonesia saat itu "buta huruf" atau buta huruf latin? Bagaimana dengan aksara Arab yang sudah lebih dulu dikenal oleh umat Islam di Indonesia? Atau bagaimana dengan aksara-aksara lokal Nusantara? Apakah mereka juga dijebloskan ke dalam 90% penduduk yang buta huruf itu? Saya teringat almarhumah nenek yang lahir sebelum Indonesia merdeka. Beliau besar di lingkungan pesantren terbata-bata dan berat sekali membaca aksara latin, tapi sangat cepat dan ringan membaca tulisan Arab/Arab Melayu/Pegon. Apakah ia buta huruf?
Didorong oleh rasa penasaran, penemuan koin  ini menuntun saya untuk menggali lebih dalam tentang sejarah aksara Arab Melayu/Jawi/Pegon. Sebelum masa kolonial, Arab Melayu/Jawi/Pegon ini luas digunakan sebagai bahasa sastra, bahasa pendidikan, dan bahasa resmi kerajaan se-Nusantara. Beberapa karya sastra ditulis dengan aksara ini, seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Amir Hamzah, Syair “Singapura Terbakar” karya Abdul Kadir Munsyi (1830), juga karya-karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari  dan tafsir Qur’an karya Kyai Saleh Darat juga ditulis dengan Arab Pegon yang kini sudah banyak dilupakan.
Surat-surat raja Nusantara, stempel kerajaan, dan mata uang pun ditulis dalam aksara Arab Melayu/Jawi ini. Kesultanan Pasai Aceh, Kerajaan Johor dan Malaka, Kesultanan Pattani pada abad 17, secara resmi menggunakan Arab Melayu sebagai aksara kerajaan. Termasuk juga dalam hubungan diplomatik, kerajaan-kerajaan Nusantara menggunakan aksara Arab Melayu untuk membuat perjanjian perjanjian resmi baik dengan Inggris, Portugis, maupun Belanda. Konon, deklarasi kemerdekaan Malaysia 1957 sebagian juga ditulis dalam aksara Arab Melayu.
Akan tetapi, pengaruh kuat dominasi kolonial Belanda lambat laun menggeser kejayaan aksara Arab Melayu/Pegon. Terlebih lagi pada pergantian abad ke-19, media penerbitan secara besar-besaran mencetak huruf latin sebagai media komunikasi massa. Pun juga setelah merdeka, Pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melestarikan aksara latin dengan menyebut orang-orang yang sehari-hari menggunakan aksara Arab Melayu atau aksara daerah, tapi tidak bisa membaca huruf latin, sebagai "buta huruf."
Akhirnya, aksara sebagai rekaan bahasa tidak hanya memberi tanda dan makna, tetapi juga merupakan representasi kekuasaan yang dominan di masyarakat itu. Dan uang koin 25 sen ini merekam ini dengan sangat jelas.

Kamis, 20 Oktober 2016

CATATAN PINGGIR,GOENAWAN MOHAMMAD PANEMBAHAN SENOPATI

Adegan itu saya ingat sejak saya kanak-anak: kisah tewasnya Aryo Penangsang, adipati dari Jipangpanolan, dalam perang tanding melawan Sutawijaya.
Sebenarnya Sutawijaya tak membunuhnya. Pada suatu saat anak muda itu memang berhasil menusukkan tombaknya ke lambung Penangsang. Adipati ini pun terlontar dari kuda dengan perut robek dan usus terburai. Tapi ia sakti, ia segera bangkit lagi. Dengan tenang ia lilitkan ususnya yang berlumur darah itu ke sarung kerisnya. Namun dengan itulah ajal datang. Ketika ia hunus senjatanya yang termasyhur untuk menikam Sutawijaya, usus itu tertoreh. Putus. Penangsang pun rubuh sekali lagi. Mati.
Saya ingat adegan itu sering dihidupkan kembali di panggung ketoprak sebagai klimaks pementasan. Lalu lakon akan usai menjelang larut malam, dan orang pun pulang mengenang akhir tragis adipati Jipang itu—seorang kharismatis yang pemberang dan brutal, dengan kudanya yang gagah, Gagak Rimang, dengan kerisnya yang bertuah, Setan Kober, tapi akhirnya kalah. Pesaing dalam perebutan takhta Kesultanan Demak abad ke-16 itu tak pernah jadi raja di Jawa.
Ketoprak—yang digemari pelbagai lapisan masyarakat Jawa—adalah sebuah teater ingatan. 
Di pentasnya orang memanggil masa lalu: fragmen sejarah sejak Mataram Hindu sampai dengan Mataram Islam, sejak Majapahit di abad ke-13 sampai dengan Kartasura di abad ke-17.
Cerita Aryo Penangsang termasuk dalam sejarah akhir Kerajaan Demak. Saya tak tahu kenapa adipati ini yang jadi tokoh di panggung; mungkin riwayatnya dramatis dan wataknya penuh warna, dan itu memenuhi syarat buat sebuah lakon yang memukau, seperti Richard III dalam teater Shakespeare. Sebab dalam sejarah Jawa, Penangsang sebenarnya hanya sosok yang cepat hilang di pinggir medan perubahan politik yang besar.
Justru tokoh abad ke-16 adalah Sutawijaya. Bermula ia cuma seorang pendekar muda di bawah perintah Mas Karebet, orang yang kemudian jadi raja di Pajang dalam pergulatan kekuasaan di Jawa abad ke-16. Tapi ternyata kemudian Sutawijayalah yang jadi pendiri Mataram Baru dan memulai dinasti yang bertakhta sejak 1586 hingga sekarang. Dialah—yang kemudian bergelar Panembahan Senapati—yang di abad ke-19 dalam kitab Wedhatama dianggap sebagai tauladan ”laku utama” bagi orang Jawa.
Legenda mengisyaratkan, ia datang dari keluarga petani. Ia putra Ki Ageng Pemanahan yang bernasib mujur karena kebetulan meminum air kelapa ajaib yang menyebabkannya jadi cikal-bakal para raja. Dengan kata lain, biografinya dibangun dari sesuatu yang di luar hubungan sebab-dan-akibat. Dalam adegan kematian Aryo Penangsang, di saat yang menentukan, Sutawijaya justru bukan pelaku yang menentukan.
Tampaknya selalu ada dua sisi yang tergambar dalam tokoh ini. Sutawijaya seorang pemberani; nyalinya cukup besar buat datang menghadapi Aryo Penangsang yang jauh lebih ulung dalam perang tanding. Beberapa tahun kemudian, setelah ia diangkat jadi yang dipertuan di Mentaok, karena jasanya menyingkirkan Penangsang, Sutawijaya juga yang berani menentang Sultan Pajang yang semula disembahnya. Pajang akhirnya tak berdaya, dan di tahun 1584 Mataram berdiri. Dalam hal seperti ini Sutawijaya punya sisi hidup yang lain: ia selalu tampak diberkahi.
Di Yogyakarta, di mana sebutan ”Mataram” tetap sebuah kebanggaan, masih ada jejak berkah itu. Sekitar 10 kilometer ke arah selatan ada tempat bernama Bambang Lipura. Di sanalah konon Sutawijaya muda menerima wahyu ”lintang johar” dari Tuhan.
Tampak, pendiri Mataram ini sering dikaitkan dengan yang sakral. Di situlah Wedhatama menarik: di dalam kitab ini, yang sakral itu ditampilkan sebagai yang meluluhkan yang profan—kekuatan yang lahiriah, yang jasmani dan duniawi.
Kitab Wedhatama, yang tak putus-putusnya dibaca dan ditembangkan di ruang keraton, di tepi sawah, dan di emper toko, menggambarkan Panembahan Senapati sebagai orang yang gemar berkelana di waktu sepi, tahan tak makan dan tak tidur, ingin mencapai ”hati yang hening”, ingin mardawa ing budya tulus (”bersikap halus, sabar, dan tulus dalam menggunakan pikir”). Dilukiskan pula Senapati selalu berbicara lembut kepada sesama, dan siang-malam menumbuhkan rasa yang nyaman di hati orang lain.
Mungkin deskripsi itu tak sesuai dengan sejarah. Tapi yang penting, syair itu berniat menonjolkan Senapati bukan sebagai penakluk—meskipun ia, lewat pertentangan dan kekerasan, jadi penguasa yang paling kukuh di Jawa. Ia tak menaklukkan liyan, ia tak memperhamba manusia lain dan dunia di luar dirinya. Bahkan laut di Selatan itu ia jadikan pendamping (itulah makna mitologi tentang Ratu Kidul yang dipersuntingnya), justru ketika luasnya samudra seakan-akan dapat digenggamnya dalam tangan, dalam diri, dalam hati:
    Kinemat kamot ing ndriya
    Rinegam sagegem dadi
Dengan kata lain, ia jauh dari bagian dunia yang profan—dunia tempat manusia mengalahkan yang lain. Penaklukan tak ada hubungannya dengan berkah yang tak terduga-duga, tak ada hubungannya dengan wibawa yang hening dalam mysterium-nya. Kekuasaan yang kasar tampak begitu sepele ketika disandingkan dengan yang sakral, yang mungkin disebut Hidup, di mana berkah bekerja.
Kitab Wedhatama ingin mengajarkan pengetahuan tentang agama ageming aji, ”agama mereka yang luhur”. Tapi karena Senapati adalah tauladannya, ”pengetahuan” dan ”agama” itu tak sama dengan kepintaran berkhotbah di masjid dan memperketat syariat—sesuatu yang oleh Wedhatama dicemooh sebagai pameran kekuatan lahiriah.
Bagi Wedhatama, ”agama” yang luhur adalah agama yang biasa ”menyampaikan kabar yang ramah”, mamangun marta martani: kabar yang tergetar oleh yang sakral. Di sanalah Panembahan Senapati adalah si Sutawijaya yang bersyukur dan menyadari diri sebagai bagian nasib yang tak terduga-duga, sejak Aryo Penangsang tewas tanpa ia membunuhnya.
~Majalah Tempo Edisi. 04/XXXIIIIII/19 – 25 Maret 2007~

Rabu, 19 Oktober 2016

KELUARGA KERAJAAN PUN TETAP DIQISHOS. .. MENGHARUKAN !!

Ada peristiwa penting Selasa 18 Oktober 2016 kemaren di Kota Riyadh, yaitu pelaksanaan hukuman Qishos  (eksekusi hukuman mati) atas Emir / Prince  Turki bin Su’ud bin Turki bin Su’ud al-Kabir, anak muda yang merupakan kerabat kerajaan atau keturunan dari pendiri kerajaan Saudi Arabia.
Prince Turki bin Su'ud terbukti membunuh pemuda lainnya ‘Adil bin Sulaiman al-Muhaimidi dengan menembaknya setelah sebelumnya terjadi pertengkaran. Polisi pun menangkap sang Emir dan diproses di pengadilan, dan karena terbukti serta mengaku maka dijatuhi hukuman mati yang pelaksanaan eksekusinya Selasa 18/10  kemaren.
Yang mengharukan adalah statemen Raja yang sangat mendukung segala upaya penegakkan hukum walaupun pelakunya melibatkan kerabat kerajaan sekali pun. Beliau menyatakan;
Alhamdulillah, masyarakat bisa menuntut Raja dan kerabat kerajaan serta siapapun yang melakukan pelanggaran hak hak.
Lalu apa reaksi keluarga tereksekusi  mengingat mereka adalah keluarga kerajaan?. Apakah marah, protes ataukah bagaimana?.
Kakak terpidana Emir/Prince Khalid bin Su'ud Al-Kabir pasca pelaksanaan eksekusi qishos menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman bagi adiknya adalah salah satu cara taubat dan kaffaroh (penebus) atas  dosa sangat besar dalam Islam, yaitu pembunuhan, yang dengan qishos itu ia berharap Allah Ta'ala mengampuni adiknya dan  memasukkannya kedalam Surga.
Sebagai informasi tambahan bahwa dalam Islam siapapun yang membunuh nyawa dengan sengaja dan terbukti dengan pengakuan atau ada saksi-saksi yang melihat maka dia di qishos (hukuman mati) disaksikan oleh masyarakat,  diantara hikmahnya:
1- Menjaga keamanan masyarakat, mencegah pembunuhan terulang. Nyawa akan menjadi sangat mahal dan orang akan berfikir sejuta kali untuk membunuh.
2- Cara taubat & kaffaroh (penebus dosa) pelaku.
Dimana setelah dilakukan Qishos maka Allah Ta'ala mengampuni dosa pembunuhan tersebut.
3- Hukum harus ditegakkan dengan adil tanpa pandang bulu dan pengadilan pun tidak boleh diintervensi oleh penguasa apalagi suap karena hakekatnya tanggungjawab hakim adalah kepada Allah Ta'ala. Curangnya hakim langsung diancam dengan Neraka.
4- Terwujudnya rasa keadilan bagi keluarga korban. Mengapa keluarganya dibunuh? Dan tidak bisa yang 2terbunuh dihidupkan kembali. Maka dalam Islam ada hak memaafkan dan tidak memaafkan. Jika keluarga korban memaafkan maka hukuman bunuh bisa dibatalkan dengan pemaafan (diganti diyat) dan jika tidak dimaafkan oleh pihak keluarga korban maka eksekusi tetap dilaksanakan.
Subhaanallah indahnya hukum Islam dalam melindungi nyawa manusia. Dan jika diterapkan hukum Islam ini maka mudah sekali prinsipnya: jangan pernah membunuh maka anda tidak akan dibunuh. Bisa disaksikan negara-negara yang enggan menerapkan  qishos  (menghukum mati para pembunuh) maka nyawa akan menjadi murah sekali. Hanya gara-gara Rp 5000 di terminal nyawa melayang, masyarakat pun hilang rasa aman.
Allah Ta'ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى... ۖ
“Wahai orang-orang beriman diwajibkan atas kalian qishash dalam kasus pembunuhan...” (al-Baqarah : 178)
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan dalam (pelaksanaan hukuman) qishâsh itu (terdapat jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (Qs. al-Baqarah:179)

PEMIMPIM MUSLIM SISTEM ISLAM

Hijab itu kewajiban Muslimah, jujur itu kewajiban yang lain. Jika yang satu belum sempurna, bukan berarti yang lain jadi batal. Juga bukan memilih salah satu diantaranya
Misal, tidak boleh hanya karena ada fakta Muslimah berhijab lalu bohong, lantas kita katakan "Mending mana berhijab tapi bohong atau buka aurat tapi jujur?"
Harusnya dikatakan, "Kalau sudah jujur tinggal berhijab, dan kalau sudah berhijab dilengkapi jujurnya", karena yang diwajibkan itu keduanya, hijabnya dan jujurnya
Begitu pun juga pemimpin Muslim itu wajib, jujur juga wajib. Aneh dan cacat logika bila pertanyaanya "Mending kafir jujur atau Muslim pembohong?"
Karena keduanya kewajiban, seharusnya "Kalau sudah jujur ya tinggal Muslim, kalau sudah Muslim selayaknya jujur". Jadi jangan maksa untuk maksiat
Kalau tidak ada Muslim yang jujur, bukan berarti boleh kafir yang jujur, tapi harus diusahakan keduanya. Dan sebenarnya banyak kok Muslim yang jujur, banget malah
Hanya saja, dalam sistem yang rusak, Muslim yang jujur tak bisa banyak berbuat, karenanya kita juga harus terus mengusahakan sistem yang jujur, sistem Islam
Sebab dalam sistem yang rusak, sekuler-kapital seperti saat ini, bahkan Muslim paling taat pun akan dipaksa mengambil hukum selain hukum Allah
Karena itulah Rasulullah tinggalkan dua perkara "Kitabullah dan Sunnah", agar memandu pemimpin Muslim yang jujur itu dalam memimpin ummatnya
Itulah mengapa pemimpin Muslim saja bukan target akhir, akan tetapi targetnya adalah memiliki pemimpin Muslim, yang menerapkan sistem Islam
InsyaAllah
Sumber: fb ustad felix siaw

PEMIMPIM MUSLIM SISTEM ISLAM

Hijab itu kewajiban Muslimah, jujur itu kewajiban yang lain. Jika yang satu belum sempurna, bukan berarti yang lain jadi batal. Juga bukan memilih salah satu diantaranya
Misal, tidak boleh hanya karena ada fakta Muslimah berhijab lalu bohong, lantas kita katakan "Mending mana berhijab tapi bohong atau buka aurat tapi jujur?"
Harusnya dikatakan, "Kalau sudah jujur tinggal berhijab, dan kalau sudah berhijab dilengkapi jujurnya", karena yang diwajibkan itu keduanya, hijabnya dan jujurnya
Begitu pun juga pemimpin Muslim itu wajib, jujur juga wajib. Aneh dan cacat logika bila pertanyaanya "Mending kafir jujur atau Muslim pembohong?"
Karena keduanya kewajiban, seharusnya "Kalau sudah jujur ya tinggal Muslim, kalau sudah Muslim selayaknya jujur". Jadi jangan maksa untuk maksiat
Kalau tidak ada Muslim yang jujur, bukan berarti boleh kafir yang jujur, tapi harus diusahakan keduanya. Dan sebenarnya banyak kok Muslim yang jujur, banget malah
Hanya saja, dalam sistem yang rusak, Muslim yang jujur tak bisa banyak berbuat, karenanya kita juga harus terus mengusahakan sistem yang jujur, sistem Islam
Sebab dalam sistem yang rusak, sekuler-kapital seperti saat ini, bahkan Muslim paling taat pun akan dipaksa mengambil hukum selain hukum Allah
Karena itulah Rasulullah tinggalkan dua perkara "Kitabullah dan Sunnah", agar memandu pemimpin Muslim yang jujur itu dalam memimpin ummatnya
Itulah mengapa pemimpin Muslim saja bukan target akhir, akan tetapi targetnya adalah memiliki pemimpin Muslim, yang menerapkan sistem Islam
InsyaAllah
Sumber: fb ustad felix siaw

PEMIMPIM MUSLIM SISTEM ISLAM

Hijab itu kewajiban Muslimah, jujur itu kewajiban yang lain. Jika yang satu belum sempurna, bukan berarti yang lain jadi batal. Juga bukan memilih salah satu diantaranya
Misal, tidak boleh hanya karena ada fakta Muslimah berhijab lalu bohong, lantas kita katakan "Mending mana berhijab tapi bohong atau buka aurat tapi jujur?"
Harusnya dikatakan, "Kalau sudah jujur tinggal berhijab, dan kalau sudah berhijab dilengkapi jujurnya", karena yang diwajibkan itu keduanya, hijabnya dan jujurnya
Begitu pun juga pemimpin Muslim itu wajib, jujur juga wajib. Aneh dan cacat logika bila pertanyaanya "Mending kafir jujur atau Muslim pembohong?"
Karena keduanya kewajiban, seharusnya "Kalau sudah jujur ya tinggal Muslim, kalau sudah Muslim selayaknya jujur". Jadi jangan maksa untuk maksiat
Kalau tidak ada Muslim yang jujur, bukan berarti boleh kafir yang jujur, tapi harus diusahakan keduanya. Dan sebenarnya banyak kok Muslim yang jujur, banget malah
Hanya saja, dalam sistem yang rusak, Muslim yang jujur tak bisa banyak berbuat, karenanya kita juga harus terus mengusahakan sistem yang jujur, sistem Islam
Sebab dalam sistem yang rusak, sekuler-kapital seperti saat ini, bahkan Muslim paling taat pun akan dipaksa mengambil hukum selain hukum Allah
Karena itulah Rasulullah tinggalkan dua perkara "Kitabullah dan Sunnah", agar memandu pemimpin Muslim yang jujur itu dalam memimpin ummatnya
Itulah mengapa pemimpin Muslim saja bukan target akhir, akan tetapi targetnya adalah memiliki pemimpin Muslim, yang menerapkan sistem Islam
InsyaAllah
Sumber: fb ustad felix siaw

Jumat, 14 Oktober 2016

RAMPOKAN MACAN DI KEDIRI (1890-1925)

Rampokan macan, juga ditulis rampok macan atau rampog macan adalah upacara kurban Jawa yang berlangsung selama abad ketujuh belas sampai awal abad kedua puluh. Awalnya dilakukan dalam alun-alun kerajaan Jawa saja, rampokan macan terdiri dari dua bagian: sima-Maesa, pertarungan di kandang antara kerbau dan harimau dan rampogan sima yang beberapa harimau diposisikan dalam lingkaran para pria bersenjatakan tombak dan meninggal apabila mencoba melarikan diri.
Mengambil tempat di lokasi yang sangat simbolis, di alun-alun, dan menggunakan hewan yang sangat simbolis dalam Budaya Asia Tenggara (harimau dan kerbau), di mana rampokan macan adalah upacara dengan interpretasi budaya yang kaya. Dilihat sebagai penghapusan kejahatan oleh para pengamat Eropa, rampokan macan paling mungkin melambangkan perjuangan kemenangan yang berdaulat terhadap kekacauan yang digambarkan sebagai harimau, dan pemurnian seluruh kerajaan.
Selama abad kedelapan belas dan abad kesembilan belas, simbolisme ritual rampokan macan melemah dan upacara secara bertahap menjadi acara atau festival. Atribut royalti Jawa, itu digunakan oleh kaum bangsawan, priyayi untuk menunjukkan kekayaan dan kekuasaan kaum pangeran bangsawan. Rampokan macan juga dipandang sebagai perjuangan politik simbolis antara VOC dan Pemerintah Jawa.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda melarang rampokan macan pada tahun 1905.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een tijgergevecht Kediri TMnr 10017893.jpg

RAMPOKAN MACAN DI KEDIRI (1890-1925)

Rampokan macan, juga ditulis rampok macan atau rampog macan adalah upacara kurban Jawa yang berlangsung selama abad ketujuh belas sampai awal abad kedua puluh. Awalnya dilakukan dalam alun-alun kerajaan Jawa saja, rampokan macan terdiri dari dua bagian: sima-Maesa, pertarungan di kandang antara kerbau dan harimau dan rampogan sima yang beberapa harimau diposisikan dalam lingkaran para pria bersenjatakan tombak dan meninggal apabila mencoba melarikan diri.
Mengambil tempat di lokasi yang sangat simbolis, di alun-alun, dan menggunakan hewan yang sangat simbolis dalam Budaya Asia Tenggara (harimau dan kerbau), di mana rampokan macan adalah upacara dengan interpretasi budaya yang kaya. Dilihat sebagai penghapusan kejahatan oleh para pengamat Eropa, rampokan macan paling mungkin melambangkan perjuangan kemenangan yang berdaulat terhadap kekacauan yang digambarkan sebagai harimau, dan pemurnian seluruh kerajaan.
Selama abad kedelapan belas dan abad kesembilan belas, simbolisme ritual rampokan macan melemah dan upacara secara bertahap menjadi acara atau festival. Atribut royalti Jawa, itu digunakan oleh kaum bangsawan, priyayi untuk menunjukkan kekayaan dan kekuasaan kaum pangeran bangsawan. Rampokan macan juga dipandang sebagai perjuangan politik simbolis antara VOC dan Pemerintah Jawa.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda melarang rampokan macan pada tahun 1905.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een tijgergevecht Kediri TMnr 10017893.jpg

Sabtu, 08 Oktober 2016

#MelawanLupa! KISAH PENGAWAL SOEKARNO

Foto : Maulwi Saelan (mengenakan baret) 
Sebelah kanan Presiden Sukarno dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Korea Utara.
Mengawal Presiden Sukarno sejak 1962. Pernah jadi kapten timnas Indonesia. Dipenjara Orde Baru tanpa proses pengadilan.
Maulwi Saelan (mengenakan baret) sebelah kanan Presiden Sukarno dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Korea Utara.
MAULWI Saelan, 87 tahun, mantan wakil komandan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden Sukarno, masih ingat suatu hari di tahun 1966. Sambil membawa secarik surat dia menghadap Presiden Sukarno. “Saya lapor pada bapak kalau saya dipanggil untuk kembali ke korps.Itu pertemuan terakhir kalinya dengan Bung Karno,” kata Maulwi Saelan ditemui di Sekolah Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan, Jum’at (21/06).
Waktu itu Maulwi berpangkat kolonel CPM. Ditarik dari penugasannya sebagai wakil komandan Tjakrabirawa. Selang beberapa lama setelah peristiwa G30S 1965, ring satu yang mengitari Presiden Sukarno mulai dipreteli. Limabelas menteri dalam Kabinet Dwikora ditangkap. Pengawalan terhadap Presiden Sukarno perlahan dikurangi dan kemudian ditiadakan sama sekali bersamaan pembubaran Tjakrabirawa.
“Fasilitas untuk presiden mulai dikurangi. Pengawalan hanya dilakukan oleh CPM seadanya. Presiden tidak boleh lagi menggunakan helikopter, hanya boleh menggunakan mobil,” kenang Maulwi.
Pascabubarnya Tjakrabirawa pada 1967, pengawalan Presiden Sukarno diserahkan kepada Pomad AD yang pro Soeharto. Sementara untuk keperluan pribadi Presiden, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang dipimpin oleh Letkol. Polisi Mangil Martowidjojo, tetap bertugas seperti biasa. Detasemen itu sudah berdiri semenjak awal masa kepresidenan Sukarno.
Menurut Maulwi, para pengawal dari DKP itu mengalami tekanan batin yang sangat mendalam ketika mengawal Sukarno di pengujung kekuasaannya. Tak jarang anggota Pomad AD membentak anggota DKP hanya karena dianggap melayani presiden secara berlebihan kendati sekadar menjalankan kewajiban saja.
Pernah seorang anggota DKP mengawal Bung Karno ke Bogor dan membukakan pintu mobil setibanya di Istana Bogor. Seorang perwira Satgas Pomad langsung membentak dan melarang anggota DKP membukakan pintu mobil yang ditumpangi Presiden Sukarno. “Biar dia buka sendiri, kamu kultus!” kata Maulwi mengutip kesaksian seorang anggota DKP bernama Suwarto.
Perlahan Presiden Sukarno makin dikucilkan. Kendati sempat menghadiri berbagai acara di mana dia memberikan pidato, tak satu pun media yang menyiarkan pidatonya. Setelah Pidato Nawaksara 10 Januari 1967 ditolak MPRS, Sukarno resmi diberhentikan. Jadi tahanan rumah dan tinggal di Wisma Yaso sampai nyawa menjemputnya pada 21 Juni 1970.
Bagaimana nasib pengawal-pengawalnya? Pada 1967, Maulwi diinterogasi di markas Kopkamtib. Ditanyai seputar keterlibatan Presiden Sukarno dalam peristiwa G30S 1965. Maulwi sendiri yakin Sukarno tak mengetahui ihwal peristiwa penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat itu.
“Waktu itu (1 Oktober 1965 – Red) begitu Bung Karno turun dari mobil di Slipi, di rumahnya Haryati (istri kelima Sukarno –Red) dia langsung bilang wah! Ik ben overrompeld (wah saya kaget). Mukanya kelihatan bingung,” kata Maulwi. “Saya yakin dia tidak tahu menahu kejadian itu.”
Pemeriksaan terhadap dirinya ternyata berujung pada pemenjaraan. Pada hari yang sama, setelah diinterogasi Kopkamtib, Maulwi tak pernah diizinkan pulang sampai lima tahun lebih kemudian. “Ya begitu saja, saya dipanggil, lantas nggak dikasih pulang sampai lima tahun lebih,” katanya.
Maulwi ditahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat selama 4 tahun 8 bulan. Kemudian ditahan di Rumah Tahanan Nirbaya, Jakarta Timur selama setahun. Untuk membuat Maulwi tertekan, Kopkamtib sengaja Maulwi menempatkan Maulwi di sel isolasi. “Kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan. Selama seminggu saya dibuat menderita. Kelaparan dan kehausan. Untung ada penjaga bekas anak buah yang berbaik hati memberikan saya pisang goreng,” kenang Maulwi.
Setelah lima tahun lebih dipenjara, Maulwi dipanggil ke kantor petugas militer. Dinyatakan bebas. “Ya sudah begitu saja. Ditahan dan dilepas seenaknya. Saya, Mursid (Mayjen. Mursid, mantan Dubes RI untuk Filipina –Red) dan beberapa kawan pengawal Bung Karno lainnya juga dibebaskan. Diantar pakai mobil pick up,” ujar mantan kapten Timnas Indonesia tahun 1950-an itu.
Tak terima perlakuan semena-mena, begitu dibebaskan Maulwi sambangi markas CPM. “Saya tekan mereka. Saya tanya sama mereka saya ini komunis bukan? Apa saya ini terlibat G30S nggak? Mereka bilang nggak. Kalau begitu kasih saya surat keterangan kalau saya tak terlibat,” tuturnya, memutar kembali ingatan ke masa lalu.
Kini Maulwi Saelan mengisi hari-harinya dalam bidang pendidikan dengan menjadi ketua Yayasan Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan (sekolahnya lebih dikenal dengan Al-Azhar Kemang-Red). Lelaki yang diangkat jadi anak ke-13 oleh Buya Hamka itu kini tengah menyiapkan terbitnya sebuah biografi yang bakal diluncurkan Oktober tahun ini. “Sejarah harus diluruskan,” pungkasnya.

#MelawanLupa! KISAH PENGAWAL SOEKARNO

Foto : Maulwi Saelan (mengenakan baret) 
Sebelah kanan Presiden Sukarno dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Korea Utara.
Mengawal Presiden Sukarno sejak 1962. Pernah jadi kapten timnas Indonesia. Dipenjara Orde Baru tanpa proses pengadilan.
Maulwi Saelan (mengenakan baret) sebelah kanan Presiden Sukarno dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Korea Utara.
MAULWI Saelan, 87 tahun, mantan wakil komandan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden Sukarno, masih ingat suatu hari di tahun 1966. Sambil membawa secarik surat dia menghadap Presiden Sukarno. “Saya lapor pada bapak kalau saya dipanggil untuk kembali ke korps.Itu pertemuan terakhir kalinya dengan Bung Karno,” kata Maulwi Saelan ditemui di Sekolah Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan, Jum’at (21/06).
Waktu itu Maulwi berpangkat kolonel CPM. Ditarik dari penugasannya sebagai wakil komandan Tjakrabirawa. Selang beberapa lama setelah peristiwa G30S 1965, ring satu yang mengitari Presiden Sukarno mulai dipreteli. Limabelas menteri dalam Kabinet Dwikora ditangkap. Pengawalan terhadap Presiden Sukarno perlahan dikurangi dan kemudian ditiadakan sama sekali bersamaan pembubaran Tjakrabirawa.
“Fasilitas untuk presiden mulai dikurangi. Pengawalan hanya dilakukan oleh CPM seadanya. Presiden tidak boleh lagi menggunakan helikopter, hanya boleh menggunakan mobil,” kenang Maulwi.
Pascabubarnya Tjakrabirawa pada 1967, pengawalan Presiden Sukarno diserahkan kepada Pomad AD yang pro Soeharto. Sementara untuk keperluan pribadi Presiden, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang dipimpin oleh Letkol. Polisi Mangil Martowidjojo, tetap bertugas seperti biasa. Detasemen itu sudah berdiri semenjak awal masa kepresidenan Sukarno.
Menurut Maulwi, para pengawal dari DKP itu mengalami tekanan batin yang sangat mendalam ketika mengawal Sukarno di pengujung kekuasaannya. Tak jarang anggota Pomad AD membentak anggota DKP hanya karena dianggap melayani presiden secara berlebihan kendati sekadar menjalankan kewajiban saja.
Pernah seorang anggota DKP mengawal Bung Karno ke Bogor dan membukakan pintu mobil setibanya di Istana Bogor. Seorang perwira Satgas Pomad langsung membentak dan melarang anggota DKP membukakan pintu mobil yang ditumpangi Presiden Sukarno. “Biar dia buka sendiri, kamu kultus!” kata Maulwi mengutip kesaksian seorang anggota DKP bernama Suwarto.
Perlahan Presiden Sukarno makin dikucilkan. Kendati sempat menghadiri berbagai acara di mana dia memberikan pidato, tak satu pun media yang menyiarkan pidatonya. Setelah Pidato Nawaksara 10 Januari 1967 ditolak MPRS, Sukarno resmi diberhentikan. Jadi tahanan rumah dan tinggal di Wisma Yaso sampai nyawa menjemputnya pada 21 Juni 1970.
Bagaimana nasib pengawal-pengawalnya? Pada 1967, Maulwi diinterogasi di markas Kopkamtib. Ditanyai seputar keterlibatan Presiden Sukarno dalam peristiwa G30S 1965. Maulwi sendiri yakin Sukarno tak mengetahui ihwal peristiwa penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat itu.
“Waktu itu (1 Oktober 1965 – Red) begitu Bung Karno turun dari mobil di Slipi, di rumahnya Haryati (istri kelima Sukarno –Red) dia langsung bilang wah! Ik ben overrompeld (wah saya kaget). Mukanya kelihatan bingung,” kata Maulwi. “Saya yakin dia tidak tahu menahu kejadian itu.”
Pemeriksaan terhadap dirinya ternyata berujung pada pemenjaraan. Pada hari yang sama, setelah diinterogasi Kopkamtib, Maulwi tak pernah diizinkan pulang sampai lima tahun lebih kemudian. “Ya begitu saja, saya dipanggil, lantas nggak dikasih pulang sampai lima tahun lebih,” katanya.
Maulwi ditahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat selama 4 tahun 8 bulan. Kemudian ditahan di Rumah Tahanan Nirbaya, Jakarta Timur selama setahun. Untuk membuat Maulwi tertekan, Kopkamtib sengaja Maulwi menempatkan Maulwi di sel isolasi. “Kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan. Selama seminggu saya dibuat menderita. Kelaparan dan kehausan. Untung ada penjaga bekas anak buah yang berbaik hati memberikan saya pisang goreng,” kenang Maulwi.
Setelah lima tahun lebih dipenjara, Maulwi dipanggil ke kantor petugas militer. Dinyatakan bebas. “Ya sudah begitu saja. Ditahan dan dilepas seenaknya. Saya, Mursid (Mayjen. Mursid, mantan Dubes RI untuk Filipina –Red) dan beberapa kawan pengawal Bung Karno lainnya juga dibebaskan. Diantar pakai mobil pick up,” ujar mantan kapten Timnas Indonesia tahun 1950-an itu.
Tak terima perlakuan semena-mena, begitu dibebaskan Maulwi sambangi markas CPM. “Saya tekan mereka. Saya tanya sama mereka saya ini komunis bukan? Apa saya ini terlibat G30S nggak? Mereka bilang nggak. Kalau begitu kasih saya surat keterangan kalau saya tak terlibat,” tuturnya, memutar kembali ingatan ke masa lalu.
Kini Maulwi Saelan mengisi hari-harinya dalam bidang pendidikan dengan menjadi ketua Yayasan Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan (sekolahnya lebih dikenal dengan Al-Azhar Kemang-Red). Lelaki yang diangkat jadi anak ke-13 oleh Buya Hamka itu kini tengah menyiapkan terbitnya sebuah biografi yang bakal diluncurkan Oktober tahun ini. “Sejarah harus diluruskan,” pungkasnya.

SALAH BESAR ANGGAPAN LAHIRAN CESAR LEBIH ENAK DIBANDINGKAN NORMAL

Kata siapa melahirkan secara Secar (SC) itu lebih enak ketimbang lahiran secara normal ? kata siapa Ibu yang melahirkan secar itu belumlah menjadi Ibu yang sempurna seperti Ibu yang melahirkan normal? kata siapa Ibu yang lahiran SC itu manja dan takut sakit ? kata-kata itulah yang seringkali muncul dari mulut orang yang sama sekali tidak tahu sakit dan beratnya melahirkan secara Secar.

Sejatinya tidak ada Ibu manapun di dunia ini yg menginginkan melahirkan secara Secar walau saat ini beberapa kasus Ibu lahir secar memang direncanakan karena alasan-alasan tertentu di luar Indikasi medis. Tapi saya yakin secar non indikasi semcam itu jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan Indikasi secar dilakukan karena mempertimpangkan keselamatan Ibu dan janin.

Berikut ini adalah beberapa Indikasi yang menyebabkan seorang Ibu harus menjalani operasi Secar:
- Ukuran bayi besar, sementara panggul ibu kecil.
- Bayi menderita kelainan misalnya spina bifida.
- Posisi kepala janin tidak berada di bawah / sungsang.
- Ibu menderita penyakit jantung
- Plasenta previa / plasenta menutup jalan lahir
- Ibu terinfeksi virus HIV.
- Infeksi herpes genital yang aktif
- Komplikasi Pre-Eklampsia / kejang kehamilan
- kegagalan persalinan dengan induksi
- kegagalan persalinan dengan alat bantu (forcep atau vakum)

Banyak sekali indikasi yang menyebabkan seorang Ibu akhirnya harus menjalani secar, jadi bukan semata-mata karena Sang Ibu ingin "enak" tanpa merasakan sakitnya bersalin tapi lebih karena pertimbangan keselamatan Ibu dan Janin dan kebanyakan Ibu yang harus menjalani secar justru malah melewati masa-masa berat dan menyakitkan yang melebihi seorang Ibu yang melahirkan normal akibat-akibat Indikasi diatas.

Bayangkan saja perjuangan seorang Ibu yang mengalami gagal persalinan setelah sebelumnya di Induksi. Padahal sang Ibu sudah merasakan kontraksi yang hebat dan berharap bisa lahir normal tapi apa daya tidak ada kemajuan dan akhirnya harus menjalani oeprasi secar, itu berarti Sang Ibu mendapat kesakitan ganda. Kesakitan saat berusaha lahiran normal dan kesakitan karena luka operasi yang harus dirasakan setelahnya.

Belum lagi untuk indikasi Plasenta previa atau placenta yang menutupi jalan lahir. Seorang ibu dengan Placenta previa selama kehamilannya dapat mengalami perdarahan yang lebih sering, apa lagi yang placentanya total menutupi jalan lahir. Dikala itu Sang Ibu harus benar-benar berhati-hati dan bahkan ada yang harus beberapa bulan bed rest total supaya tidak terjadi perdarahan hebat yang bisa membahayakan janinnya. Sementara Ibu dengan palcenta normal dapat bebas kemana sana dan ngaain aja tanpa kuatir perdarahan.

Sekarang ke indikasi komplikasi pre-eklampasia, seorang Ibu dengan tanda-tanda preeklampsia seperti tekanan darah tinggi sangat berisiko jika harus menjalani proses persalinan normal karena rawan terjadinya kejang dan koma. Nah kondisi semcam ini dapat meningkatkan resiko kematian tak hanya janin tapi juga Ibu. Dahulu sebelum, kemajuan dunia kedokteran seperti sekarng, angka kematian Ibu dan janin dalam kasus ini sangat tinggi.

Seorang Ibu yang melahirkan secar akan lebih lama dirawat di rumah sakit, berbeda dengan seseorang yang melahirkan normal yang setelah 1x24 jam sudah bisa langsung pulang dan beraktifitas seperti biasa. Hal ini sangat berbeda dengan seorang Ibu yang melahirkan secar dimana masih harus berjuang untuk menyembuhkan lukanya dan harus tetap menginap dirumah sakit selama 4-6 hari. Tidak hanya itu rasa nyerinya pun masih tetap terasa selama beberapa minggu setelah secar dan bahkn beberapa bulan dan tahun setelah secarnya. Jadi beruntunglah anda yg bisa menjalani persalinan normal dan tidak merasakan kesakitan yg dialami ibu yang lahir secara secar.

Biaya yang lebih besar harus ditanggung seseorang yang menjalani secar. Mereka yang tidak dijamin asuransi/BPJS otomatis akan membayar lebih mahal ketimbang mereka yang menjalani persalinan normal dan tentu hal semcam ini sebanrnya tidak diinginkan. Tapi demi melihat Sang ibu dan bayi dapat lahir normal kedunia calon orang tua rela menrogoh kocek lebih dalam untuk menjalani operasi secar karena indikasi-indikasi medis diatas. Jadi tak hanya lebih lama sembuh tapi oprasi secar juga membutuhkan biaya lbh mahal.

Itu hanya segelintir penjelasan kenapa melahirkan lewat secar juga nyata-nyata membutuhkan perjuangan besar yang tak kalah dengan proses perjuangan dalam melahirkan normal dan bahkan Ibu yang melahirkan secar lbh perlu ekstra kesabaran karena lebih banyak problem yang dihadapi selama proses kehamilan hingga menghantarkan kelahiran sang anak kedunia. Untuk itulah sudah sewajarnya kita selalu memberikan respect yang luar biasa besar bagi para Ibu, baik yang melahirkan normal dan secar karena mereka itulah sejatinya wanita yang rela bertaruh nyawa untuk melahirkan buah hati mereka ke dunia.

salam sehat
dr. Ryan Thamrin

MUSLIM HARUS MEMILIH PEMIMPIN MUSLIM

UMAR MARAH MENDENGAR SEORANG NASRANI DIANGKAT JADI KEPERCAYAAN

“Suatu hari Umar bin Khathab r.a memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari r.a untuk segera menunjuk pemimpin kepercayaan untuk pencatat pengeluaran dan pemasukan pemerintah Islam di Syam".

Abu Musa lalu menunjuk seorang yang beragama Nasrani dan Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi.

Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Lalu Umar berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk rapat melaporkan laporan di depan kami?’.

Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram (Mekkah dan Madinah)'.

Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’.

Abu Musa menjawab: ‘Bukan, karena ia seorang Nasrani’.

Umar pun langsung marah, menegurku keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘Pecat dia! cari dan angkat seorang muslim".

(maksud Umar; 'apa tidak ada muslim lain yang lebih baik, pasti Allah SWT telah menyediakan banyak calon pemimpin muslim yang lebih baik untuk umat', cari sampai ketemu).

Umar lalu membacakan ayat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengangkat mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka (kafir). Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim‘”. (QS. Al Maidah: 51)

Sumber : Tafsir Ibnu Katsir,.

Keterangan :
Orang dzalim yaitu orang yang selalu berbuat dosa karena kebodohan akibat tidak pernah dan tidak mau tahu tentang ilmu agama.

Semoga Bermanfaat