Coba perhatikan apa yang menarik dari koin Indonesia 25 sen tahun 1952 yang saya temukan di Damaskus ini?
Bagi saya, koin ini menyibak banyak hal dari masa lalu. Selain karena ukuran dan materialnya sangat mirip dengan koin Rp500 "bunga melati" tahun 2003, yang paling menarik dari koin ini adalah penggunaan aksara Arab pada koin Indonesia. Ternyata Indonesia pernah mencetak koin dengan tulisan Arab, yakni 1 sen (1952), 5 sen (1951—1954), 10 sen (1951—1954), dan 25 sen (1952). Setelah itu aksara Arab dalam mata uang Indonesia lenyap dan digantikan seluruhnya dengan huruf latin.
"Mengapa Indonesia menggunakan aksara Arab?" si penjual koin malah bertanya ke saya.
"Hmmm... mungkin karena sebagian besar rakyat Indonesia saat itu lebih familiar dengan tulisan Arab," jawab saya sekenanya, tapi malah jawaban itu balik menyerang saya dengan lebih banyak pertanyaan dalam kepala.
Sejak lama kita selalu dijejali data bahwa pada masa awal kemerdekaan, tingkat buta huruf di Indonesia mencapai lebih dari 90%! Bayangkan suatu bangsa yang menuntut kemerdekaan padahal hanya kurang dari 10% penduduknya yang bisa baca tulis. Bagaimana bangsa merdeka itu kelak bisa menjalankan pemerintahannya dan mengurus negaranya jika baca tulis saja tidak becus? Tidak heran salah satu perdebatan sengit di BPUPKI adalah bangsa ini belum siap untuk merdeka karena masih bodoh dan belum bisa baca tulis.
Namun tunggu dulu… sebetulnya bangsa Indonesia saat itu "buta huruf" atau buta huruf latin? Bagaimana dengan aksara Arab yang sudah lebih dulu dikenal oleh umat Islam di Indonesia? Atau bagaimana dengan aksara-aksara lokal Nusantara? Apakah mereka juga dijebloskan ke dalam 90% penduduk yang buta huruf itu? Saya teringat almarhumah nenek yang lahir sebelum Indonesia merdeka. Beliau besar di lingkungan pesantren terbata-bata dan berat sekali membaca aksara latin, tapi sangat cepat dan ringan membaca tulisan Arab/Arab Melayu/Pegon. Apakah ia buta huruf?
Didorong oleh rasa penasaran, penemuan koin ini menuntun saya untuk menggali lebih dalam tentang sejarah aksara Arab Melayu/Jawi/Pegon. Sebelum masa kolonial, Arab Melayu/Jawi/Pegon ini luas digunakan sebagai bahasa sastra, bahasa pendidikan, dan bahasa resmi kerajaan se-Nusantara. Beberapa karya sastra ditulis dengan aksara ini, seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Amir Hamzah, Syair “Singapura Terbakar” karya Abdul Kadir Munsyi (1830), juga karya-karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan tafsir Qur’an karya Kyai Saleh Darat juga ditulis dengan Arab Pegon yang kini sudah banyak dilupakan.
Surat-surat raja Nusantara, stempel kerajaan, dan mata uang pun ditulis dalam aksara Arab Melayu/Jawi ini. Kesultanan Pasai Aceh, Kerajaan Johor dan Malaka, Kesultanan Pattani pada abad 17, secara resmi menggunakan Arab Melayu sebagai aksara kerajaan. Termasuk juga dalam hubungan diplomatik, kerajaan-kerajaan Nusantara menggunakan aksara Arab Melayu untuk membuat perjanjian perjanjian resmi baik dengan Inggris, Portugis, maupun Belanda. Konon, deklarasi kemerdekaan Malaysia 1957 sebagian juga ditulis dalam aksara Arab Melayu.
Akan tetapi, pengaruh kuat dominasi kolonial Belanda lambat laun menggeser kejayaan aksara Arab Melayu/Pegon. Terlebih lagi pada pergantian abad ke-19, media penerbitan secara besar-besaran mencetak huruf latin sebagai media komunikasi massa. Pun juga setelah merdeka, Pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melestarikan aksara latin dengan menyebut orang-orang yang sehari-hari menggunakan aksara Arab Melayu atau aksara daerah, tapi tidak bisa membaca huruf latin, sebagai "buta huruf."
Akhirnya, aksara sebagai rekaan bahasa tidak hanya memberi tanda dan makna, tetapi juga merupakan representasi kekuasaan yang dominan di masyarakat itu. Dan uang koin 25 sen ini merekam ini dengan sangat jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar